2015 in review

Asisten statistik WordPress.com menyiapkan laporan tahunan 2015 untuk blog ini.

Berikut ini kutipannya:

Satu kereta gantung di San Francisco mengangkut 60 orang. Blog ini telah dilihat sekitar 820 kali di 2015. Jika itu adalah kereta gantung, dibutuhkan sekitar 14 perjalanan untuk mengangkut orang sebanyak itu.

Klik di sini untuk melihat laporan lengkap.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Makam Raden Panji Kamzah Sang Pujangga Carita Lasem, yang Kian Terlupakan dan tak Terawat

Carita (Sejarah) Lasem, sebuah kitab yang berisi cerita-cerita sejarah tentang Lasem di masa kerajaan hingga masa kolonial, dilengkapi dengan keterangan tahun peristiwa dan setting tempat yang rinci. Kitab Carita Lasem atau biasa disebut CSL, merupakan kitab yang pada akhirnya dipadukan dengan Kitab Badra Santi sehingga fungsinya menjadi Kitab Pembuka pada Kitab Badra Santi karangan Tumenggung Wilwatikta Mpu Santi Badra. Kitab CSL dan Badra Santi sangat populer di kalangan masyarakat Lasem khususnya para sejarawan, pecinta sejarah, dan kaum Buddhis di eks-Karesidenan Pati.

di batu nisan Raden Panji Kamzah terpahat tulisan "RADEN PANJI KAMZAH penulis Sejarah Lasem" dan keterangan tahunnya "th 1805 wf 1900" dengan tanda panah bertuliskan "Buyut Putri" mengarah ke makam di sebelah timurnya.

Kondisi Makam Raden Panji Kamzah di Kompleks Pemakaman Umum, Dukuh Sambong, Desa Dorokandang, Lasem

Kitab CSL digubah oleh seorang pujangga Lasem trah bangsawan Lasem yang lahir pada tahun 1805 dan wafat pada tahun 1900. Beliau adalah Raden Panji Kamzah, keturunan trah Panji Lasem. Leluhur beliau juga mendapat gelar Raden Panji di depan namanya, seperti Raden Panji Sasongko, Raden Panji Margono, dan Raden Panji Witono. Dalam 95 tahun beliau meniti kehidupan di mayapada, karyanya yang digubah tahun 1858 berjudul Carita (Sejarah) Lasem menjadi sebuah karya yang fenomenal hingga sekarang. Setiap sejarawan dan pecinta sejarah Lasem seakan-akan tak lengkap hidupnya jika tidak mengetahui cerita-cerita yang ada di Kitab CSL bahkan sangat direkomendasikan untuk memilikinya.

Namun, ketenaran dan posisi penting karyanya bagi daerah Lasem dan sekitarnya karena sedemikian detilnya sejarah yang beliau tulis tak menaruh respon positif bagi masyarakat Lasem khususnya, kepada diri beliau bahkan hingga batu nisan tertancap kokoh di makam Raden Panji Kamzah. Hanya nisan bertuliskan “RADEN PANJI KAMZAH penulis Sejarah Lasem” disertai keterangan tahun “th 1805 wf 1900”. Andaikan tidak tertulis semacam itu, bisa dipastikan tak ada orang yang tahu siapa sebenarnya beliau bahkan orang tak akan tahu tentang makam beliau.

Makam Raden Panji Kamzah terletak di Kompleks Pemakaman Umum, Dukuh Sambong, Desa Dorokandang, Lasem. Letaknya kompleks pemakaman tak jauh dari Punden Mbah Buyut atau Makam Raden Panji Margono, pahlawan yang sangat disegani di Lasem dan dibuatkan rupang beliau dengan pakaian adat Jawa, di Kelenteng Gie Yong Bio, Babagan Lasem. Jika melewati SMP N 1 Lasem, ambil jalan ke selatan ke arah Dukuh Sambong, tepat di antara semak belukar di sebelah kanan (barat) jalan tembus antara Jalan Pantura (Depan SMP N 1 Lasem) menuju Dukuh Sambong Desa Dorokandang, terdapat Kompleks Pemakaman Umum yang tidak terlalu luas. Ketika melewati jalan menuju makam, kita akan disambut sebuah makam dengan nisan berbentuk persegi panjang dipagai tumpukan batu bata merah di sebelah kiri jalan tanah, tepat di sebelah selatan bangunan keranda.

di batu nisan Raden Panji Kamzah terpahat tulisan "RADEN PANJI KAMZAH penulis Sejarah Lasem" dan keterangan tahunnya "th 1805 wf 1900" dengan tanda panah bertuliskan "Buyut Putri" mengarah ke makam di sebelah timurnya.

di batu nisan Raden Panji Kamzah terpahat tulisan “RADEN PANJI KAMZAH penulis Sejarah Lasem” dan keterangan tahunnya “th 1805 wf 1900” dengan tanda panah bertuliskan “Buyut Putri” mengarah ke makam di sebelah timurnya.

Kondisi makam yang tak terawat dan sangat memprihatinkan, membuat siapa pun yang melihatnya tak dapat menduga bahwa itu adalah makam seorang pujangga besar berdarah bangsawan Lasem yang karyanya sangat melegenda. Bahkan, seandainya Raden Panji Karsono (yang melengkapi Kitab CSL) tidak mencantumkan letak makam Raden Panji Kamzah di daftar situs bersejarah di Lasem (pada halaman terakhir), pasti masyarakat dan penikmat sejarah Lasem tidak mengetahui makam beliau. Kemungkinan terburuknya, orang tidak mengetahui Raden Panji Kamzah itu siapa dan apakah beliau benar-benar ada? Atau hanya orang asing yang memakai nama samaran “Raden Panji Kamzah”, kemudian mengarang kitab dan status dirinya menjadi pujangga yang misterius? Dugaan-dugaan bisa saja terjadi.

Kurang terawatnya fisik makam Raden Panji Kamzah dan minimnya masyarakat yang tahu tentang letak makam beliau, merupakan poin penting yang harus diselesaikan. Permasalahan ini tidak hanya ditujukan kepada masyarakat Sambong atau Dorokandang, namun sudah masuk menjadi masalah bagi masyarakat Lasem dan bangsa Indonesia. Karena tidak akan ada sejarah Indonesia jika tidak ada sejarah-sejarah daerah dan Raden Panji Kamzah-lah Sang Penulis Carita Sejarah Lasem!

Masyarakat perlu bergegas, merubah pola pikir mereka, dan mengingat tentang jasa leluhurnya yang menorehkan darah ataupun tinta merajut aksara demi mempertahankan harga diri bangsanya yang kian terdesak oleh serangan meriam serta berjuta hasutan. Begitu juga dengan Raden Panji Kamzah. Seorang pujangga yang seakan hidup hanya untuk menorehkan kisah mengenai kebenaran sejarah leluhurnya dan mematahkan kisah melenceng yang disebar penjajah untuk memecah belah rakyat. Dengan rajutan aksaranya, karya beliau mampu membuat Lasem bangkit kembali seperti sekarang, kota yang penuh toleransi, bersatunya semua etnis, dan merangkak menjadi masyarakat yang siap berdiri di atas tanah mulia, tanah yang dahulu menjadi pusat peradaban besar.

Ketika Wringin Mandhira mulai merimbun dan Tunjung Teratai mulai bersemi, maka Merak, Kijang dan Banteng akan berteduh dan melantunkan puja-puji kepada Yang Mahasuci. Salam Begja-Rahayu.

Keterangan:

Foto, adalah dokumentasi pribadi penulis menggunakan ponsel Andromax C1 2MPx. Diambil pada hari Sabtu Wage, 17 Oktober 2015.

Dipublikasi di Heritage, Sejarah Lasem, Situs Pusaka Lasem, Tokoh Lasem | Tag , , , , , | Meninggalkan komentar

Mitos Prabu Badhog Basu, Raja Raksasa dari Kerajaan Gua Miring

Lakon Prabu Badhog Basu menceritakan tentang seorang raja raksasa dari Kerajaan Gua Miring  bernama Prabu Badhog Basu yang ingin melamar seorang putri dari Kerajaan Medang Kamolan yang bernama Dewi Sri. Perasaannya yang tak terbendung kemudian mendorongnya untuk mengadakan pasewakan agung yang dihadiri oleh Patih, Petinggi Kerajaan, dan abdi setianya yaitu Togog dan Mbilung Sarawita. Usai Prabu Badhog Basu nguda rasa, diutuslah patihnya yang bernama Patih Kalasrenggala. Sang Patih kemudian berangkat menuju Kerajaan Medang Kamolan dan melaporkan diri sebagai utusan dari Kerajaan Gua Miring untuk melaporkan keinginan Prabu Badhog Basu yang hendak melamar Dewi Sri, putri dari Prabu Sri Mahapunggung.

Suasana menjadi tegang karena lamaran datang dari negeri para raksasa yang terkenal tak tahu sopan santun dan akan berbuat apa saja untuk mewujudkan keinginannya. Prabu Maharaja Sri Mahapunggung tak mau putrinya menjadi istri dari Prabu Badhog Basu yang garang dan angkara murka. Sebagai raja yang cerdas, kemudian Sri Mahapunggung mengatakan bahwa ia setuju putrinya dipersunting oleh Prabu badhog Basu, namun harus menunggu sampai hari Jumat Kliwat bulan Jumadil Lawas. Patih Kalasrenggala pun mohon pamit untuk menyampaikan pesan Sri Mahapunggung kepada rajanya, Prabu Badhog Basu. Ia pun pergi meninggalkan istana Medang Kamolan.

Setelah Sang Patih Kalasrenggala kembali dari Medang Kamolan, Patih Kalasrenggala pun memberitahu kepada Prabu Badhog Basu bahwa Maharaja Sri Mahapunggung menyetujui putrinya dipersunting oleh Prabu Badhog Basu, tetapi Sri Mahapunggung harus menunggu sampai hari Jumat Kliwat bulan Jumadil Lawas. Sebagai raja raksasa yang tidak sebodoh raksasa pada umumnya, berita ini membuat Prabu Badhog Basu marah. Ia paham bahasa simbolis atau pasemon yang diberikan Maharaja Sri Mahapunggung merupakan penolakan halus namun sangat menyakitkan, karena menurutnya tidak ada yang namanya hari Jumat Kliwat bulan Jumadil Lawas, yang ada adalah hari Jumat Kliwon dan bulan Jumadil Awal. Sang Prabu pun menyimpulkan bahwa lamarannya tidak diterima oleh Sri Mahapunggung. Ia pun murka dan menyiapkan bala tentara raksasa unggulan untuk menyerang Kerajaan Medang Kamulan.

Suatu ketika, pada saat pasukan raksasa dari Kerajaan Gua Miring berangkat menyerang Kerajaan Medang Kamolan, tiba-tiba dihadang oleh ksatria muda dari Medang Kamolan. Terjadi suatu pertarungan antara ksatria tersebut dengan pasukan raksasa, namun akhirnya pasukan tersebut kocar-kacir dan Prabu Badhog Basu pun turun tangan. Lalu ksatria muda itu dihajar oleh Prabu Badhog Basu dan diterkam sambil terus menghajarnya.

Di lain tempat, Raden Sadana sedang bercakap-cakap dengan Semar. Semar kemudian menasehati Raden Sadana bahwa Raden Sadana sanggup memberantas masalah-masalah yang terjadi di Medang Kamolan akibat amukan para raksasa dari Kerajaan Gua Miring. Akhirnya, Raden Sadana berangkat menghadang pasukan Gua Miring. Di tengah perjalanan ia bertemu Prabu Badhog Basu. Sang Prabu pun bertanya, siapa pria bagus yang tiba-tiba datang dan menghadang pasukan Prabu Badhog Basu . Raden Sadana menjawab, bahwa ia adalah Sadana, putra mahkota Kerajaan Medang Kamolan.. Prabu Badhog Basu menjawab lagi bahwa memang kebetulan sekali, Sang Prabu ingin memboyong Dewi Sri yang tak lain adalah kakak dari Raden Sadana, dan akan dijadikannya permaisuri di Kerajaan Gua Miring miliknya. Tetapi Raden Sadana tidak mengizinkan Sang Prabu untuk memboyong kakak perempuannya. Mereka pun akhirnya bertarung. Raden Sadana pun kalah dan akhirya menemuai Semar. Ia mengadu kepada Semar bahwa Prabu Badhog Basu ini tidak dapat dikalahkan dan sakti. Semar pun member tahu, bahwa sesungguhnya Prabu Badhog Basu yang sakti mandraguna itu memiliki pengapesan, yaitu dipanah menggunakan anak panah yang terbuat dari Pring Apus dan dibagian pucuk/mata panahnya diolesi Kunir Apu. Sadana pun menuruti apa yang diarahkan oleh Semar dan membuat panah tersebut. Kemudian ia pun memanah Prabu Badhog Basu dari kejauhan. Terkena panah Raden Sadana, Sang Prabu pun akhirnya meronta dan akhirnya tewas. Ia tewas karena terpanah lehernya sehingga kepala dan tubuhnya pisah.

Setelah kejadian itu, Semar pun menemui Raden Sadana. Sadana pun mengucapkan terima kasih dan memeluk tubuh Semar. Lalu Semar menasehati Raden Sadana, bahwa semenjak peristiwa kematian Prabu Badhog Basu ini, kepala Badhog Basu putus dan naik ke langit sebelah barat daya dan menjadi halilintar. Ini menjadi suatu tanda kepada para petani bahwa jika ada kilat atau halilintar yang menyambar di langit, maka itu tandanya petani harus segera istirahat dan meninggalkan sejenak pekerjaannya. Sementara badan Badhog Basu/gembungnya jatuh di laut utara sebelah timur, menjadi ombak songo. Ini menjadi pertanda bagi para nelayan, bahwa jika ada ombak bergulung-gulung dan tinggi, para nelayan agar segera merapatkan perahunya dan beristirahat sejenak sampai keadaan tenang kembali.

Dipublikasi di cerita, mitos | Tag , , , | Meninggalkan komentar

Endriya Pra Astha, 8 Butir Ajaran pada Masa Peradaban Pucangsula

Mencoba menulis ulang artikel yang saya unggah di wikipedia, dulur. Selamat membaca.

Endriya Pra Astha, merupakan 8 butir ajaran yang harus dilakukan jika ingin terbebas dari ikatan hawa nafsu untuk mencapai ketenteraman abadi. Ajaran ini di babar oleh Raja Hang Sam Badra(Bhadrawarman) dari Kerajaan Pucangsula yang terletak di Lasem sekitar abad ke-6 M. Setelah bertahun-tahun Raja Hang Sam Badra membabar ajaran Endriya Pra Asthadan para pendeta Kanung juga telah mengajarkan ajaran ini kepada masyarakat Pucangsula, akhirnya pada masa pemerintahan Dewi Sie Ba Ha (Sibah), Endriya pra Astha ini ditetapkan sebagai undang-undang kerajaan. Endriya Pra Astha ini berbunyi:

  1. Tunemen nyambut gawe ngudi rejeki kanggo murakabi Brayate, lan ora srei drengki kemeren ning liyan. (bersungguh-sungguh dalam bekerja mencari rejeki untuk kesejahteraan keluarga serta tidak boleh iri dengki terhadap orang lain).
  2. Nyembah mundhi-bekti ning wong tuwane-sakloron; sambat nyebut: Adhuh Sembooooook, Gusti kula! (=Sembok kuwi wong sing bagus atine sa-ndonya), Adhuh Semaaaaaak, Pangeran kula! (=Semak/Bapak kuwi pangengerane wong sagotrah anak-bojone). (Berbakti kepada kedua orang tua).
  3. Ngleluri mundhi Pundhen Nyai-Dhanhyang Kaki-Dhanhyang sing cakalbakal desane. Sarta emoh nganggu Manuk-manuk sing padha manggon ning bregat Pundhen, utawa ning bregat-bregat liyane kana-kana. (Menghormati punden para leluhur yang menjadi cikal bakal desa serta tidak boleh mengganggu burung-burung yang tinggal di pohon besar sekitar punden atau pohon-pohon besar yang dianggap sakral di tempat lain).
  4. Sayuk rukun karo tangga-teparo lan sadulure, bebarengan gotong-royong ing wulan Purnama Badrapada; bresih desa, ratan, sendhang, karas pekarangan; sarta memetri nguri Bregat. (Hidup rukun dengan tetangga kanan kiri dan saudara, bersama-sama gotong-royong pada saat Bulan Purnama Badrapada untuk melakukan upacara bersih desa, membersihkan jalan besar, telaga/sendang, pekarangan, serta merawat pohon-pohon besar agar tetap asri lestari).
  5. Mangastuti rembugan nggathukake pinemu, kanggo pituduh mbangun majune Desane, lan njaga kaamanane. (Mendahulukan musyawarah mufakat untuk menyelesaikan masalah, sebagai petunjuk untuk membangun kemajuan desa dan menjaga keamanan/ketenteraman desa).
  6. Nguri-uri ngluhurake Budipakarti Seni-Budaya Jawa. (Melestarikan dan meluhurkan budi pekerti seni budaya Jawa).
  7. Mikani ning Bumi dununge kabeh Titah kasinungan Sang Urip kang Maha Esa, mikani ning Langit dununge/ manunggale Urip Agung Sang Nyawa kang Maha Das. Wong mati ragane dadi Mayit lebur ing Bumi, Jiwane dadi Yitma nunggal ning Langit. (Menyembah kepada Yang Maha Esa dan ingat bahwa orang yang mati raganya akan melebur menjadi satu dengan bumi dan jiwanya akan manunggal di langit).
  8. Setya pranatane Negara lan Sabda wasitane Sesepuh Agung Manggala Praja. (Setia terhadap peraturan negara dan sabda para Sesepuh Agung Manggala Praja).

Sumber:

Kitab Sejarah Kanung, oleh Mbah Guru.

Dipublikasi di Heritage, Pucangsula, Sejarah Lasem | Tag , , , , , , , , | Meninggalkan komentar

Ra Semi (Rakryan Semi) Tokoh yang tak Dianggap

Mencoba menulis ulang artikel yang saya unggah di wikipedia, dulur. Selamat membaca.

Ra Semi adalah tokoh yang menjadi salah satu dari 7 orang anggota Dharmaputra-raja yang tertulis dalam kitab Pararaton, atau disebut juga Dharmaputra Winehsuka. Anggota Dharmaputra tersebut adalah Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa.

Jabatan Dharmaputra

Adanya jabatan Dharmaputra diketahui dari naskah Pararaton. Jabatan ini tidak pernah dijumpai dalam sumber-sumber sejarah lainnya, baik itu Nagarakretagama ataupun prasastiprasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Majapahit.

Tidak diketahui dengan pasti apa tugas dan wewenang Dharmaputra. Pararaton hanya menyebutkan bahwa para Dharmaputra disebut sebagai pengalasan wineh suka, yang artinya “pegawai istimewa yang disayangi raja”. Mereka dikisahkan diangkat oleh Raden Wijaya dan tidak diketahui lagi keberadaannya setelah tahun 1328. Ketujuh orang ini semuanya tewas sebagai pemberontak pada masa pemerintahan raja kedua, yaitu Jayanagara.

Jabatan

Dikisahkan bahwa sebelumnya, Ra Semi adalah seorang pemangku kekuasaan Majapahit di Lasem (mungkin pada masa Kekuwuan Lasem). Dia ditugaskan menjadi Dharmaputra dan mendapat gelar Rakrian (Ra) Semi. Jika Ra Semi adalah seorang pemangku kekuasaan Majapahit di Lasem (Kekuwuan Lasem) maka bisa jadi dia adalah akuwu Lasem tepat sebelum Mpu Mettabhadra atau jarak satu akuwu sebelum Metthabadra. Sebab, jarak antara kematian Ra Semi dan masa ditaklukkannya Metthabadra olehGajah Mada adalah 33 tahun.

Kematian

Kidung Sorandaka menyebutkan pada tahun 1316 ayah Patih Nambi yang bernama Pranaraja meninggal dunia di Lumajang. Tokoh Ra Semi ikut dalam rombongan pelayat dari Majapahit. Kemudian terjadi peristiwa tragis di mana Nambi difitnah melakukan pemberontakan oleh seorang tokoh licik bernama Mahapati. Raja Majapahit saat itu adalahJayanagara putra Raden Wijaya. Karena terlanjur percaya kepada hasutan Mahapati, ia pun mengirim pasukan untuk menghukum Nambi.

Saat pasukan Majapahit datang menyerang, Ra Semi masih berada di Lamajang bersama anggota rombongan lainnya. Mau tidak mau ia pun bergabung membela Nambi. Akhirnya, Nambi dikisahkan terbunuh beserta seluruh pendukungnya, termasuk Ra Semi.

Namun, Pararaton menyebutkan pada tahun 1318 Ra Semi melakukan pemberontakan terhadap Majapahit. Berita ini cukup berbeda dengan naskah Kidung Sorandaka yang menyebutkan Ra Semi tewas membela Nambi tahun 1316, candrasengkala dengan tahun saka nora-weda-paksa-wong (1240 Syaka).

Pararaton mengisahkan secara singkat ‘pemberontakan’ Ra Semi terhadap pemerintahan Jayanagara. Pemberontakannya itu ia lakukan di daerah Lasem. Akhirnya pemberontakan kecil ini dapat ditumpas oleh pihak Majapahit di mana Ra Semi akhirnya tewas dibunuh di bawah pohon kapuk.

Makam

Pernyataan menurut Pararaton tentang tewasnya Ra Semi tersebut mirip dengan apa yang ada di sekitar Ngeblek (Ngargomulyo) dimana terdapat makam tokoh besar (tokoh agung) di bawah pohon randu/kapuk. Namun keadaan sekarang, karena proses islamisasi maka masyarakat sekitar menamai makam itu dengan nama Islam. Sungguh hal yang disayangkan.

Dipublikasi di Heritage, Sejarah Lasem, Tokoh Lasem | Tag , , , , , , , , , , | Meninggalkan komentar

Rangga Widyabadra, Sang Peletak Peradaban Baru Lasem

Mencoba menulis ulang artikel yang saya unggah di wikipedia, dulur. Selamat membaca.

Rangga Widyabadra atau Mpu Rangga Widyabadra adalah seorang tokoh yang membangun dan mendirikan Kutha Lasem (kotaLasem, kota pesisir di ujung timur-laut Jawa Tengah sekarang) pada abad ke-9. Nama asli dia adalah Ki Wêlug yang berasal dari dataran Pegunungan Lasem.

Sejarah Perantauannya

Berbondong-bondong masyarakat Kanung dari daerah Criwik dan Sindawaya, rombongan ini turun gunung dan membuka lahan pemukiman di sebelah barat Pegunungan Lasem yang kala itu masih berupa rawa-rawa dan hutan belantara. Tokoh yang berperan penting dalam rombongan tersebut adalah Ki Wêkêl dan Ki Wêlug. Mereka adalah kakak beradik dan kemungkinan mereka adalah orang-orang berpengaruh di kalangan masyarakat Kanung di sekitar Dataran Criwik hingga Sindawaya. Alasannya, mereka yang memimpin suatu kelompok masyarakat apalagi di zaman kuno, adalah mereka yang berperan penting di dalam masyarakat, orang yang dituakan, orang bijaksana serta cerdas, disegani dan mereka yang dianggap mampu memimpin masyarakat agar menjadi lebih baik.

Saat sampai di dataran baru tersebut, rombongan pun akhirnya terbagi 2. Mereka yang ikut Ki Wêkêl membuka perkampungan di sebelah barat Sungai Lasem tepatnya di bumi Tegalamba-Karas, sedangan Ki Wêlug membuka perkampungan di barat Gunung Argasoka (Tapaan) tepatnya di bumi Sumbersili. Rombongan Ki Wêkêl mengadu nasib menjadi Tani-pokol, mereka menanam jagung-kodhok, kacang-tholo, dan télo-êlung. Perkampungan yang mereka dirikan ini disebut Têgalamba dan Karas (Karasmula, Karasgêdhé, Karaskêpoh).

Rombongan lain yang dipimpin oleh adik Ki Wêkel yaitu Ki Wêlug, enggan untuk membuka perkampungan terlalu jauh dari daerah asalnya. Mereka membuka kampung di sekitar lereng Gunung Bugêl dan Gunung Gêbang, serta daerah di lembah sebelah barat Peg.Lasem yang tanahnya banyak terdapat sumber mata air dan airnya menggenangi daratan sehingga menjadi rawa-rawa, di sini banyak terdapat ikan kutuk (ikan gabus) dan ikan sili yang ukurannya besar-besar. Dari sanalah, masyarakat tersebut menyebut daerah ini Sumbêrsili. Mereka hidup sebagai Tani-ngothèk, hidup dengan mengunduh buah-buahan yang ada di hutan, serta menangkap ikan-ikan di rawa-rawa. Menurut mereka, titah (manusia) itu sudah memiliki rejekinya sendiri-sendiri ketika terlahir di dunia ini; yang menanam jambu kluthuk itu Sêmut-gêtêm yang membawa biji jambu kluthuk lalu diletakkan di sarangnya di bawah batu. Codhot, Kalong, dan Kelelawar membawa buah-buah, pêlok, dan bêton, kemudian kotorannya berceceran sehingga biji yang mereka makan tersebut tumbuh di mana-mana. Maka, tak ada caranya orang-orang Tani-ngothèk itu untuk repot-repot menanam; pepohonan, buah-buahan, itu semua sudah tumbuh dengan sendirinya di mana-mana, ikan-ikan itu semua sudah berkembang biak dengan sendirinya. Manusia tidak perlu menanam maupun beternak ikan, tinggal mengambil saja yang alam berikan, tinggal mengunduh, tinggal memasang wuwu (bubu).

Dengan kedua pemikirannya yang berbeda, mereka berdua akhirnya membawa masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Mengolah hasil alam, mensyukuri apa yang alam berikan kepada mereka, hidup berdampingan dengan alam, serta menjaga kelestarian alam di mana mereka hidup. Hamêmayu hayuning bawånå. Mereka hidup berdampingan, rukun, dalam suasana yang asri dan tenteram. Di tanah yang penuh dengan mata air yang melimpah, di tanah yang rawa-rawanya menyediakan ikan yang melimpah, di tanah yang menyediakan buah-buahan yang melimpah, di tanah yang subur dan memberikan hasil panen yang melimpah.

Beberapa tahun sudah, Ki Wêlug tinggal di bumi Sumbêrsili. Kampung ini semakin lama semakin maju dan semakin ramai. Sekitar tahun 870 M, seseorang dari Negeri Siam mendarat di pesisir barat Gunung Argasoka, tepatnya di Sunglon èrèng-èrèngé Pongol pesisir tersebut dan membuat permukiman di sana. Seiring berjalannya waktu, kampung tersebut diberi nama Pèrèng. Dia yang datang dari |Thailand|Negeri Siam]] itu adalah seorang Bhikku Buddha bernama Gam Swi Lang. Ia dan masyarakat Kanung yang tinggal di situ kemudian membangun Sanggar dan Pasraman di daerah selatan Pèrèng, menghadap ke barat. Masyarakat menyebut Pasraman itu Gambiran, diambil dari nama Gam Swi Lang berubah pelafalan menjadi Gambiran. Eyang Gam Swi Lang mengajarkan ajaran Buddha-Kanung. Rombongan Gam Swi Lang dan masyarakat Kanung banyak yang menikah dan hidup rukun berdampingan.

Pada tahun 880 M, tepatnya 10 tahun semenjak Eyang Gam Swi Lang mendarat di Pèrèng, Ki Wêlug menemui Bhikku Gam Swi Lang untuk belajar ilmu Agama Buddha dan ilmu-ilmu lainnya. Setelah mengenyam banyak ilmu dan dianggal lulus, Ki Wêlug diwisuda sebagai Pujangga dan mendapat gelar kapujanggan yaitu Mpu Widyabadra. Setelah pulang ke tempat tinggalnya, ia mengajarkan Ilmu-Karya kepada masyarakatnya. Orang-orang Sumbêrsili diajarinya membuat makanan unik, yaitu: 1. Manisan yang dibuat dari Buah Kêmala yang diberi gula; 2. Olahan lauk-pauk yang dibuat dari ikan rawa yang sudah dibersihkan lalu dimasukkan ke dalam klêthing (wadah) ditumpuk-tumpuk bersama nasi jagung dan garam, kemudian diperam 5 hari sampai terjadi fermentasi dan baunya busuk. Makanan ini dinamakan Bêkasêm atau Masin.

Masyarakat membuatnya bothok dan dicampur dengan krambil muda yang sudah diparut, dijadikan lauk dimakan bersama nasi jagung dan sayur elung atau sayur asem kangkung. Setelah makan, mereka bersendawa sambil berseru, ” Hwaeeek… Aduh Sémboook sêgêré!!!” Kemudian mereka memakan manisan Kêmala sambil bersantai tanpa pakaian atas karena keringatnya gêmrobyos, diterpa angin semilir dari Gunung Bugêl, membawa aroma bunga-bunga yang harum menenangkan pikiran.

Orang-orang Tani-ngothèk Sumbêrsili diajak Ki Wêlug untuk membuat batu bata berukuran besar dibuat tembok untuk menanggul sumber mata air yang luber membanjiri desa. Air tersebut dialirkan menuju Sungai Sêmangu dan Kêmandhung lalu merembet ke Sungai Têgalamba dan menuju rawa Narukan. Selain itu, Ki Wêlug juga mengajarkan masyarakat menjadi Kundhi, membuat gerabah. Daerah tempat tinggal para Kundhi itu diberi nama Kundhèn. Selain itu, masyarakat juga diajarkan menjadi Pandhé, tempat tinggalnya diberi nama Pandhéyan. Wanita-wanita kampung Kundhèn diajari membuat Ampo (makanan dari tanah liat), yang bahan tanah liatnya didapat di sekitar Palwadhak (lereng utara Gunung Bugêl) yang terdapat lempung kete-kuning yang apabila dibuat Ampo rasanya agak gurih. Sementara itu, Tani-pokol Têgalamba diajarkan cara menanam Padi yang tanpa membutuhkan banyak air. Bibitnya didapat dari sumbangan orang-orang Siam, padi itu dinamakan Pari Gågå-rancah. Beras yang dihasilkan disebut Krōtōg.

Membangun Kutha Lasem-Argasoka

Orang-orang Tani-pokol dan Tani-ngothèk yang dipimpin Mpu Widyabadra tersebut merasa guyub dan senang sekali. Masyarakat lalu mengangkat Ki Wêlug Widyabadra menjadi Rangga, Pemimpin Karya. Dia lalu pindah dan membuat tempat tinggal baru yang dinamai Kêranggan. Tak menunggu waktu lama, desa tersebut menjadi semakin ramai seperti kota besar. Kemudian daerah itu dinamakan LASÊM. Ketika daerah itu ditetapkan menjadi KOTA LASEM di musim Bêdhidhing, diadakan upacara agung. Mpu Rangga Widyabadra membuat Candrasêngkala untuk mengingat momen tersebut, yaitu “Akarya kombuling manggala“. Akarya: 4, kombuling: 0, manggala: 8. (Membaca tahun Candrasengkala adalah dengan dibalik angkanya, jadinya adalah 804) Artinya KOTA LASÊM didirikan oleh Ki Wêlug Rangga Widyabadra pada tahun 804 Çaka (882 M). Mpu Widyabadra meninggal dunia pada tahun 920 M, dan abu jenazahnya disemayamkan bersama para leluhurnya di Pundhèn Tapaan, Gunung Argasoka (Tapaan).

Kepustakaan

Mbah Guru. 1996. Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung.

Dipublikasi di Heritage, Sejarah Lasem, Situs Pusaka Lasem | Tag , , , , , , , , | Meninggalkan komentar

Kerajaan Lasem, sebuah kerajaan otonom di bawah Wilwatikta

Mencoba menulis ulang artikel yang saya unggah di wikipedia, dulur. Selamat membaca.

Kerajaan Lasêm adalah nama sebuah kerajaan bawahan Majapahit yang berdiri di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timurpada abad ke-14. Kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah baik yang bercorak Hindu, Buddha, maupun Islam, namun pada masa penjajahan Belanda peninggalan yang ada di Lasem dihancurkan oleh Belanda (Naskah Carita ‘Sejarah’ Lasem). Kerajaan Lasem berganti statusnya menjadi Kadipaten Lasem pada abad ke-15 sepeninggalan Pangeran Wiranegara.

Nama

Menurut naskah yang ditulis oleh Mbah Guru, nama Lasem diambil dari nama Kamala dan Bekasem. Manisan buah Kamala dan olahan Bekasem ini diajarkan oleh Ki Welug (Mpu Rangga Widyabadra, meninggal tahun 920M) kepada masyarakat Banjar Karanggan dan sekitarnya (banjar=desa besar). Ada versi lain yang menyebutkan bahwa Lasem berasal dari kata Alas Asem, maupun versi lain yaitu Lasem berasal dari kata Lao Sam.

Pusat Kerajaan Lasem

Pusat pemerintahan Kerajaan Lasem terletak dataran sebelah barat Pegunungan Lasem, tepatnya di Bhumi Kriyan. Pada tahun 1391 Syaka, Pangeran Wirabajra memindahkan pusat pemerintahannya ke Bhumi Bonang Binangun.

Awal berdirinya kerajaan

Pada masa Kutha Lasem dipimpin oleh Akuwu Mpu Metthabadra pada tahun 1345 M keadaan Lasem masih aman dan tenteram. Tidak ada negeri lain yang menjajahnya. Baru pada masa Wilwatikta diperintah oleh Prabu Hayam Wuruk, Akuwu Lasem Mpu Metthabadra ditaklukkan oleh pasukan pimpinan Patih Arya Gajah (Gajah Mada?) dan Lasem berada di bawah imperium Majapahit. Kemudian pemerintahan Kerajaan Lasem diserahkan kepada Dewi Indu, dia diwisuda sebagai Raja dengan gelar Bhre Lasem pada tahun 1351 M. Naskah Carita Sejarah Lasem menyebutkan bahwa pada tahun Syaka 1273 (1351 Masehi), adalah Dewi Indu yang menjadi Ratu di Lasem, dia adiknakdulur misanane (adik saudara sepupunya) Prabu Hayam Wuruk di Wilwatikta (Majapahit).

Daftar raja-raja Lasem

Menurut naskah Veda Badra Santi (Mpu Santibadra) maupun Kitab Carita Lasem (Mpu Panji Karsono), urutan raja-raja Lasem adalah sebagai berikut.

  1. Bhre Lasem Duhitendu Dewi(Dewi Indu Purnamawulan), raja pertama Kerajaan Lasem
  2. Pangeran Badrawardana, dia adalah putra Bhre Lasem Duhitendu Dewi dan Bhre Mataun Rajasawardana
  3. Pangeran Wijayabadra, putra Pangeran Badrawardana
  4. Pangeran Badranala, putra Pangeran Wijayabadra
  5. Pangeran Wirabajra, putra Pangeran Badranala dan Putri Cempo Bi Nang Ti, pusat pemerintahan dipindah di Bhumi Bonang Binangun
  6. Pangeran Wiranagara, putra Pangeran Wirabajra, ia juga menantu Sunan Ampel

Pada saat Pangeran Wiranagara wafat, pemerintahan dipegang oleh istrinya yaitu Nyi Ageng Maloka putri Sunan Ampel dan pusat pemerintahan dipindah kembali ke Bhumi Lasem depan Puri Kriyan dengan gelar Adipati Lasem. Ia dibantu oleh sanak saudara dari pihak suami, Pangeran Santipuspa putra Tumenggung Wilwatikta Mpu Santibadra.

Keadaan penduduk

Penduduk Lasem pada umumnya bekerja sebagai petani, nelayan, pedagang, maupun pengrajin. Kerajaan Lasem memang terkenal sebagai negara pesisir, dengan pelabuhan utamanya terletak di Pelabuan Kaeringan dan Pelabuhan Regol.

Agama resmi Kerajaan Lasem pada masa pemerintahan Duhitendu Dewi sampai masa pemerintahan Pangeran Wirabajra adalah Çiwa-Buddha selain ada pula Hindu aliran Siwa, Buddha, dan Kejawen. Ketika Pangeran Wiranagara berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Islam walaupun agama lain masih tetap diakui sebagai agama kerajaan.

Keluarga Bi Nang Un menetap di Lasem

Batik Lasem motif Tiga Negeri klasik

Pada kira-kira tahun Syaka 1335 (1413 Masehi), ada salah seorang Dhang Puhawang (Lasem: Laksamana) dari negara Cempa yang bernama Bi Nang Un beserta keluarga dan orang-orang warga dari negerinya datang di Lasem, berlabuh, mendaratkan kapal-kapalnya di pelabuhan Regol. Kedatangan mereka karena mereka semua hendak pindah dari negara Cempa dan menetap di bumi Lasem yang sebelumnya telah mendapatkan ijin dari Adipati Pangeran Wijayabadra. Setahun sebelum kedatangan mereka, Bi Nang Un telah terlebih dulu datang di Lasem karena ikut berlayar menjelajah Bawana (dunia) bersama Dhang Puhawang Cheng Ho dari negara Tiongkok. KetikaBi Nang Un melihat betapa melimpah dan suburnya bumi Lasem, juga orang-orang sekitar yang begitu ramah apalagi di Lasem telah banyak juga orang-orang Cempa yang pindah dan menetap di sana, seketika itu juga timbul keinginan Dhang Puhawang Bi Nang Un untuk ikut pindah dan menetap di Lasem. Dirinya lantas meminta ijin dan pamit kepada Dhang Puhawang Cheng Ho, tidak dapat meneruskan perjalanannya berlayar menjelajah Bawana (dunia) dan hendak pindah menetap di Lasem. Permintaan tersebut akhirnya juga mendapatkan restu dari Pangeran Wijayabadra selaku Adipati Lasem tetapi dengan syarat jika kepindahannya kelak beserta keluarga dan warga-warga lain dari Cempa diharapkan dapat membawa banyak benda atau tanaman-tanaman yang di tanah Jawa tidak ada, seperti; Pari Campa Klewer (Padi Campa), Ketan Ireng (ketan hitam), pelem blungkow (mangga blungkow), Tebu Limpow, Delimow (delima), Pitik Cempow (ayam Campa), merak ulese biru (burung merak berbulu biru), serta orang-orang yang ahli di bidang Kesenian. Orang-orang Campa itu perawakan dan kulitnya mirip sekali dengan orang Jawa. Yang laki-laki memakai “gelung kadhal-menek” dan sisir “penyu-plengkung”, dan menggunakan sarung gembaya. Jauh sekali dengan kebiasaan dan perawakan orang-orang Cina. Orang Campa beragama Buddha dan memuja Sang Lokeswara, sedangkan orang-orang dari Cina beragama Kong Hu Cu dan memuja dewa beraneka rupa. Lelaki Cina memakai kuncir Towcang, dan bercelana gombyor hitam. Kedatangan Bi Nang Un beserta keluarga dan rakyat-rakyatnya diterima dengan sangat baik oleh Adipati Lasem Pangeran Wijayabadra, lantas mendapatkan tanah untuk bertempat tinggal di bumi Kemandhung sampai ke Telangbenthung. Orang-orang dari Campa pintar sekali membuat Slepi (wadah tembakau) dari bulu merak, pintar membatik, membuat perhiasan dari emas, menari dan membuat gamelan. Anak-anak kecil dan juga generasi mudanya entah laki-laki atau perempuan pasti bisa menari dan menabuh gamelan untuk upacara-upacara pemujaan dalam agama Buddha. Istri Bi Nang Un bernama Na Li Ni, mereka mempunyai dua orang anak, pada saat kepindahan merek ke bumi Lasem anak yang pertama berusia lima tahun bernama Bi Nang Na, anak yang kedua berumur tiga tahun bernama Bi Nang Ti. Bi Nang Un berserta keluarga dan orang-orangnya menetap di bumi Kemendhung di sebelah selatan sungai, sedangkan yang di sebelah utara sungai terpagari tembok beteng kota Kadipaten Lasem yang panjang membujur ke timur sampai ke Taman Kamalapuri. Sepanjang pagar pekarangan rumah di Kemandhung membujur terus ke selatan sampai ke tanjakan pekarangan Juru Demung ditanami kembang melathi rangkep (bunga melati rangkep) yang disukai oleh Putri Na Li Ni, karena itulah tempat menetapnya Pangeran Bi Nang Un dinamakan Taman Banjarmlati. Di Taman Banjarmlati tersebut Putri Na Li Ni mengajar membuat slepi lar merak (kipas dari bulu merak), membatik dan mengajari menari kepada anak-anak putri Kemandhung dan juga mengajari kepada putra putrinya sendiri. Kakek Ke Tong Dhaw yang merupakan paman putri Na Li Ni, menjadi Pujangga Seni Karawitan dan mengajarKarawitan kepada para pemuda di desa tersebut; juga mengajarkan ilmu Dharma Buddha Sakyamuni. Kakek Mpu Pandhita Asthapaka (Ke Tong Dhaw) tersebut membuka hutan sebelah selatan bumi Kemandhung, dan membuat sendang (mata air) yang airnya dengan sangat deras keluar dari tanah padas (tanah keras/gersang) yang sumber airnya dari sumber payung, sendang (mata air) tersebut lantas di beri nama sendang “Jalatundha”. Setelahnya daerah tersebut di beri nama desa Ketandhan, dengan Kakek Ke Tong Dhawmenjadi cikal bakal desa tersebut dengan panggilan Buyut Ketandha.

Pada masa-masa inilah, lahir Batik Lasem yang sampai sekarang menjadi ikon batik pesisiran khas Lasem yang kaya akan perpaduan unsur-unsur budaya dengan warna yang khas dan motif yang unik.

Peninggalan sejarah

Banyak peninggalan pada masa Kerajaan Lasem, namun banyak juga yang telah dimusnahkan oleh pihak Kolonial pada masa penjajahan sebab para penjajah kesulitan jika Wong Lasem bersatu. Akhirnya mereka memecah belah Wong Lasem dengan memelencengkan sejarah, membakar habis kitab-kitab kuno, dan menghancurkan bangunan bersejarah seperti candi-candi, kecuali Kitab Sabda Badra Santi yang disimpan di rumah Raden Panji Margono yang masih keturunan dari raja-raja Lasem sekaligus putraAdipati Lasem Tejokusumo V. Peninggalan yang masih tersisa antara lain.

  • Punden Perabuan Eyang Santibadra, Bukit Tapaan, Ngasinan, Warugunung
  • Pertapaan Gebang, Warugunung
  • Punden Perabuan Bhre Lasem (Peruntuhan Candi Maladresmi), Gowak
  • Pertapaan Mandirasari, Gunung Selembu, Rakitan
  • Pelabuhan Regol, Bonang Binangun
  • Makam Pangeran Wiranegara, Sriombo
  • Makam Pangeran Wirabajra, Sriombo
  • Perabuan Putri Cempo Bi Nang Ti dan Pangeran Badranala, Bonang
  • Reruntuhan Taman Sitaresmi, Caruban, Gedongmulyo
  • Reruntuhan Taman Kamalapuri, Bumi Makam Kutha, Sumbergirang
  • Reruntuhan Candi Pucangan, Tasiksono
  • Reruntuhan Candi Ratnapangkaja, Semangu, Karangturi
  • Situs Batu Tapak (Tapak Kaki Hayam Wuruk), Kajar
  • Situs Lingga Kajar, Kajar

Pegunungan Lasem, nampak puncak Argopuro, perkampunganWarugunung, Bukit Gebang (sebelah kampung), Bukit Tapaan, dan Bukit Congol

Situs Batu Tapak di Kajar, merupakan cap kaki Prabu Hayam Wuruk saat mengujungi Kerajaan Lasem.

Kepustakaan

  • Mpu Santibadra. Veda Sabda Badra Santi
  • Panji Karsono. 1920. Carita (Sejarah) Lasem
  • Mbah Guru. 1996. Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
  • Akrom Unjiya. 2008. Lasem: Kota Dampoawang Sejarah yang Terlupakan
Dipublikasi di Heritage, Potensi Wisata, Sejarah Lasem, Situs Pusaka Lasem | Tag , , , , , , , , , , | Meninggalkan komentar

Kerajaan Pucangsula, sebuah peradaban Lasem yang hilang

Mencoba menulis ulang artikel yang saya unggah di wikipedia, dulur. Selamat membaca.

Kerajaaan Pucangsula adalah kerajaan kuno yang terletak di Nusa Kendeng Argapura (Pulau kuno yang lepas dari Nusa Yawapegwan), sekitar tepi barat Pegunungan Lasem Argapura.

Raja-raja

  1. Dhatu Hang Sam Badra yang terkenal sebagai pendeta Kanung yang mengajarkan kepercayaan suci Hwuning terutama tentang Endriya pra Astha kepada murid-muridnya di Pertapaan Argasoka, Gunung Tapaan. Dia memiliki 2 putri yang cantik dan tangguh, yaitu Dewi Sibah (Sie Ba Ha) dan Dewi Simah (Ratu Shima, raja Kalingga.
  2. Dattsu Sie Ba Ha (Dewi Sibah) dia adalah armada laut (laksamana) wanita pada masa pemerintahan Hang Sam Badra. Dia terkenal kejam dan bengis kepada perompak di Lautan Pucangsula, terutama perompak laki-laki yang tampan. Dia akhirnya menjadi istri dari Rsi Agastya Kumbayani (Haricandana) dan memiliki seorang putra bernama Arya Asvendra. Pada masa pemerrinahan dia, Pucangsula mencapai masa kejayaan. Endriya pra Astha diperkukuh di dalam undang-undang, pembangunan tempat suci, dan pertambangan belerang di Baturetna terjadi di zaman Dewi Sibah.
  3. Arya Asvendra, dia adalah putra Rsi Agastya Kumbayani dan Dewi Sibah. Pada masa pemerintahan dia, dibangun pasraman/tempat suci di Bukit Gebang (Butun) dan mensikretiskan ajaran Hwuning dari kakeknya (Sam Badra) dan ajaran Siwa dari ayahnya (Rsi Agastya). Ini dibuktikan dengan adanya penemuan patung Lembu Nandi dan arca Ganapati (Ganesha) di Bukit Gebang, sebelah tenggara Pertapaan Argasoka. Dia wafat di depan candi Sumbadra (Dieng) saat terjadi Tragedi Belerang antara wong Baturretna dan wong Keling (Kalingga) di Dieng untuk memperebutkan hak pertambangan belerang (untuk diekspor), belapati terhadap kaumnya dan ayahnya. pu chang su lao

Anak Arya Asvendra adalah Arya Untaka yang diselamatkan oleh patihnya Arya Asvendra, kelak anaknya ini dijadikan raja di Hangjuruhan (Kanjuruhan) dekat Kali Brantas sampai Singosari. Pada masa Kanjuruhan, Raja Gajayana membuat tempat suci pemujaan yang sangat bagus guna memuliakan Rsi Agastya. Sang raja juga menyuruh membuat arca sang Rsi Agastya dari batu hitam yang sangat elok, sebagai pengganti arca Rsi Agastya yang dibuat dari kayu cendana oleh nenek Raja Gajayana.

Pemecahan Wilayah

Kerajaan Pucangsula dipecah wilayahnya menjadi 3 pada masa pemerintahan Hang Sam Badra (Bhadrawarman):

  1. Pucangsula, berkuasa di sisi timur, dengan Dewi Sibah sebagai rajanya.
  2. Keling (Kalingga), berkuasa di sisi tengah dan Pulau Muria, dengan Ratu Shima sebagai rajanya.
  3. Baturretna, berkuasa di sisi barat sampai berbatasan dengan Sunda, dengan Rsi Agastya Kumbayani (Haricandana) sebagai rajanya.

Undang-undang Kerajaan

Setelah bertahun-tahun Raja Hang Sam Badra membabar ajaran Endriya Pra Astha dan para pendeta Kanung juga telah mengajarkan ajaran ini kepada masyarakat Pucangsula, akhirnya pada masa pemerintahan Dewi Sie Ba Ha (Sibah), Endriya pra Astha ini ditetapkan sebagai undang-undang kerajaan. Endriya Pra Astha ini berbunyi:

  1. Tunemen nyambut gawe ngudi rejeki kanggo murakabi Brayate, lan ora srei drengki kemeren ning liyan. (bersungguh-sungguh dalam bekerja mencari rejeki untuk kesejahteraan keluarga serta tidak boleh iri dengki terhadap orang lain).
  2. Nyembah mundhi-bekti ning wong tuwane-sakloron; sambat nyebut: Adhuh Sembooooook, Gusti kula! (=Sembok kuwi wong sing bagus atine sa-ndonya), Adhuh Semaaaaaak, Pangeran kula! (=Semak/Bapak kuwi pangengerane wong sagotrah anak-bojone). (Berbakti kepada kedua orang tua).
  3. Ngleluri mundhi Pundhen Nyai-Dhanhyang Kaki-Dhanhyang sing cakalbakal desane. Sarta emoh nganggu Manuk-manuk sing padha manggon ning bregat Pundhen, utawa ning bregat-bregat liyane kana-kana. (Menghormati punden para leluhur yang menjadi cikal bakal desa serta tidak boleh mengganggu burung-burung yang tinggal di pohon besar sekitar punden atau pohon-pohon besar yang dianggap sakral di tempat lain).
  4. Sayuk rukun karo tangga-teparo lan sadulure, bebarengan gotong-royong ing wulan Purnama Badrapada; bresih desa, ratan, sendhang, karas pekarangan; sarta memetri nguri Bregat. (Hidup rukun dengan tetangga kanan kiri dan saudara, bersama-sama gotong-royong pada saat Bulan Purnama Badrapada untuk melakukan upacara bersih desa, membersihkan jalan besar, telaga/sendang, pekarangan, serta merawat pohon-pohon besar agar tetap asri lestari).
  5. Mangastuti rembugan nggathukake pinemu, kanggo pituduh mbangun majune Desane, lan njaga kaamanane. (Mendahulukan musyawarah mufakat untuk menyelesaikan masalah, sebagai petunjuk untuk membangun kemajuan desa dan menjaga keamanan/ketenteraman desa).
  6. Nguri-uri ngluhurake Budipakarti Seni-Budaya Jawa. (Melestarikan dan meluhurkan budi pekerti seni budaya Jawa).
  7. Mikani ning Bumi dununge kabeh Titah kasinungan Sang Urip kang Maha Esa, mikani ning Langit dununge/ manunggale Urip Agung Sang Nyawa kang Maha Das. Wong mati ragane dadi Mayit lebur ing Bumi, Jiwane dadi Yitma nunggal ning Langit. (Menyembah kepada Yang Maha Esa dan ingat bahwa orang yang mati raganya akan melebur menjadi satu dengan bumi dan jiwanya akan manunggal di langit).
  8. Setya pranatane Negara lan Sabda wasitane Sesepuh Agung Manggala Praja. (Setia terhadap peraturan negara dan sabda para Sesepuh Agung Manggala Praja).

Dugaan Peninggalan

  1. Kompleks Candi Dieng, di dataran tinggi Dieng
  2. Reruntuhan Candi Pucangan di desa Sriombo
  3. Pasraman bukit Gebang (Butun), tempat pengajaran ajaran Siwa, di desa Warugunung
  4. Pasraman bukit Tapaan (Argasoka), tempat pengajaran ajaran Hwuning dan Buddha-Kanung, sebelah barat Vihara Tlueng (Sendangcoyo)
  5. Punden Tapaan, tempat bersemayamnya abu jenazah Hang Sam Badra dan Dewi Sibah, sebelah barat Vihara Tlueng (Sendangcoyo)
  6. Arca Lembu Nandini dan Arca Ganapati (Ganesha) di bukit Gebang
  7. Reruntuhan Candi Gebang di bukit Gebang
  8. Situs Kapal Kuno desa Punjulharjo (abad ke-7 M)
  9. Bekas tempat pabrik kapal di lereng Gunung Bugel, Dhak-Palwa/Palwadhak (desa Pohlandak sekarang)
  10. Desa/Dukuh Gepuro sebagai gerbang/gapura kotaraja (kini masuk desa Selopuro)
  11. Dukuh Pucangan desa Sriombo
  12. Dukuh Sulo desa Sriombo
  13. Dukuh Logading (Selogading) desa Sriombo

Referensi Acuan

  1. Naskah Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung
  2. Cerita-cerita setempat
  3. Arkeologi.web.id: misteri tokoh arya asvendra
Dipublikasi di Heritage, Sejarah Lasem, Situs Pusaka Lasem | Tag , , , , , , | Meninggalkan komentar

Kekuwuan Lasem

Mencoba menulis ulang artikel yang saya unggah di wikipedia, dulur. Selamat membaca.

Kutha Lasêm-Argasoka atau Kekuwuan Lasem adalah nama sebuah kota kuno (kekuwuan) yang berdiri di bekas reruntuhanKerajaan Pucangsula pada abad ke-9, negeri Pucangsula diperkirakan hilang akibat bencana alam pada masa meletusnya Gunung Sangkapura di sebelah timur (Pulau Bawean) juga akibat meletusnya Gunung Muria di sebelah barat (Pulau Muria/Pulau Maura/Muryapada). Sebenarnya Kutha Lasem ini tidaklah yang pertama berdiri di tanah Nusa Argapura. Sebelumnya pernah berdiri Kedhatuan Tanjungputri yang terletak di utara-timur Pegunungan Lasem Argapura (sekitar desa Tanjungsari sekarang) dan juga Kerajaan Pucangsula yang terletak di pesisir barat Pegunungan Lasem yang terkenal dengan armada laut wanitanya yang kuat dan kejam. Tanjungputri menjadi desa kecil (penduduknya mengungsi/membuka desa baru di tempat lain) dan Kerajaan Pucangsula hilang akibat bencana alam. Kekuwuan Lasem menempati tanah bekas lautan di dataran rendah sebelah barat lereng Pegunungan Lasem yang mengalami pengendapan dan pendangkalan akibat bencana alam (gunung meletus, gempa bumi, tanah longsor, sedimentasi). Kota kuno ini didirikan oleh Ki Welug yang bergelar Rangga dan mendapatkan nama kehormatan Widyabadra, sehingga orang menyebutnya Ki Rangga Widyabadra. Ia mendapat gelar tersebut karena menyelesaikan masa belajarnya di padepokan Gambiran oleh Bhikku Gam Swi Lang. Kekuwuan ini runtuh akibat serangan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada untuk menaklukkan daerah Lasem.

Nama

Menurut naskah Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanungyang ditulis oleh Mbah Guru, nama Lasem diambil dari nama Kamala dan Bekasem. Manisan buah Kamala dan olahan Bekasem ini diajarkan oleh Ki Welug (Mpu Rangga Widyabadra, meninggal tahun 920M) kepada masyarakat Banjar Karanggan dan sekitarnya (banjar=desa besar). Ada versi lain yang menyebutkan bahwa Lasem berasal dari kata Alas Asem, maupun versi lain yaitu Lasem berasal dari kosakata Tiongkok, Lao Sam; yang konon artinya adalah hutan jati karena memang dahulu sampai sekarang, Lasem terkenal sebagai penghasil kayu jati berkualitas tinggi.

Membuka hutan dan semak barat Argasoka

Setelah beberapa masa setelah meletusnya gunung di Sangkapura, Bawean, berbondong-bondong masyarakat Kanung (sangkan-gunung) dari daerah Criwik dan Sindawaya, rombongan ini turun gunung dan membuka lahan pemukiman di sebelah barat Pegunungan Lasem yang kala itu masih berupa rawarawa dan hutan belantara. Tokoh yang berperan penting dalam rombongan tersebut adalah Ki Wêkêl dan Ki Wêlug. Mereka adalah kakak beradik dan kemungkinan mereka adalah orang-orang berpengaruh di kalangan masyarakat Kanung di sekitar Dataran Criwik hingga Sindawaya. Alasannya, mereka yang memimpin suatu kelompok masyarakat apalagi di zaman kuno, adalah mereka yang berperan penting di dalam masyarakat, orang yang dituakan, orang bijaksana serta cerdas, disegani dan mereka yang dianggap mampu memimpin masyarakat agar menjadi lebih baik.

Saat sampai di dataran baru tersebut, rombongan pun akhirnya terbagi 2. Mereka yang ikut Ki Wêkêl membuka perkampungan di sebelah barat Sungai Lasem tepatnya di bumi Tegalamba-Karas, sedangan Ki Wêlug membuka perkampungan di barat Gunung Argasoka (Tapaan) tepatnya di bumi Sumbersili. Rombongan Ki Wêkêl mengadu nasib menjadi Tani-pokol, mereka menanam jagung-kodhok, kacang-tholo, dan télo-êlung. Perkampungan yang mereka dirikan ini disebut Têgalamba dan Karas (Karasmula, Karasgêdhé, Karaskêpoh).

Rombongan lain yang dipimpin oleh adik Ki Wêkel yaitu Ki Wêlug, enggan untuk membuka perkampungan terlalu jauh dari daerah asalnya. Mereka membuka kampung di sekitar lereng Gunung Bugêl dan Gunung Gêbang, serta daerah di lembah sebelah barat Peg.Lasem yang tanahnya banyak terdapat sumber mata air dan airnya menggenangi daratan sehingga menjadi rawa-rawa, di sini banyak terdapat ikan kutuk (ikan gabus) dan ikan sili yang ukurannya besar-besar. Dari sanalah, masyarakat tersebut menyebut daerah ini Sumbêrsili. Mereka hidup sebagai Tani-ngothèk, hidup dengan mengunduh buah-buahan yang ada di hutan, serta menangkap ikan-ikan di rawa-rawa. Menurut mereka, titah (manusia) itu sudah memiliki rejekinya sendiri-sendiri ketika terlahir di dunia ini; yang menanam jambu kluthuk itu Sêmut-gêtêm yang membawa biji jambu kluthuk lalu diletakkan di sarangnya di bawah batu. Codhot, Kalong, dan Kelelawar membawa buah-buah, pêlok, dan bêton, kemudian kotorannya berceceran sehingga biji yang mereka makan tersebut tumbuh di mana-mana. Maka, tak ada caranya orang-orang Tani-ngothèk itu untuk repot-repot menanam; pepohonan, buah-buahan, itu semua sudah tumbuh dengan sendirinya di mana-mana, ikan-ikan itu semua sudah berkembang biak dengan sendirinya. Manusia tidak perlu menanam maupun beternak ikan, tinggal mengambil saja yang alam berikan, tinggal mengunduh, tinggal memasang wuwu (bubu).

Dengan kedua pemikirannya yang berbeda, mereka berdua akhirnya membawa masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Mengolah hasil alam, mensyukuri apa yang alam berikan kepada mereka, hidup berdampingan dengan alam, serta menjaga kelestarian alam di mana mereka hidup. Hamêmayu hayuning bawånå. Mereka hidup berdampingan, rukun, dalam suasana yang asri dan tenteram. Di tanah yang penuh dengan mata air yang melimpah, di tanah yang rawa-rawanya menyediakan ikan yang melimpah, di tanah yang menyediakan buah-buahan yang melimpah, di tanah yang subur dan memberikan hasil panen yang melimpah. Di tanah ini, beberapa masa ke depan, menjadi tanah yang membawa peradaban besar. Ya, di sinilah kelak Kota Lasem terlahir dan menjadi negeri yang menyimpan banyak cerita.

Ki Welug mendapat gelar kepujanggaan

Beberapa tahun sudah, Ki Wêlug tinggal di bumi Sumbêrsili. Kampung ini semakin lama semakin maju dan semakin ramai. Sekitar tahun 870 M, seseorang dari Negeri Siam mendarat di pesisir barat Gunung Argasoka, tepatnya di Sunglon èrèng-èrèngé Pongol pesisir tersebut dan membuat permukiman di sana. Seiring berjalannya waktu, kampung tersebut diberi nama Pèrèng. Dia yang datang dari |Thailand|Negeri Siam]] itu adalah seorang Bhikku Buddha bernama Gam Swi Lang. Ia dan masyarakat Kanung yang tinggal di situ kemudian membangun Sanggar dan Pasraman di daerah selatan Pèrèng, menghadap ke barat. Masyarakat menyebut Pasraman itu Gambiran, diambil dari nama Gam Swi Lang berubah pelafalan menjadi Gambiran. Eyang Gam Swi Lang mengajarkan ajaran BuddhaKanung. Rombongan Gam Swi Lang dan masyarakat Kanung banyak yang menikah dan hidup rukun berdampingan.

Pada tahun 880 M, tepatnya 10 tahun semenjak Eyang Gam Swi Lang mendarat di Pèrèng, Ki Wêlug menemui Bhikku Gam Swi Lang untuk belajar ilmu Agama Buddha dan ilmu-ilmu lainnya. Setelah mengenyam banyak ilmu dan dianggal lulus, Ki Wêlug diwisuda sebagai Pujangga dan mendapat gelar kapujanggan yaitu Mpu Widyabadra. Setelah pulang ke tempat tinggalnya, ia mengajarkan Ilmu-Karya kepada masyarakatnya. Orang-orang Sumbêrsili diajarinya membuat makanan unik, yaitu: 1. Manisan yang dibuat dariBuah Kêmala yang diberi gula; 2. Olahan lauk-pauk yang dibuat dari ikan rawa yang sudah dibersihkan lalu dimasukkan ke dalam klêthing (wadah) ditumpuk-tumpuk bersama nasi jagung dan garam, kemudian diperam 5 hari sampai terjadi fermentasi dan baunya busuk. Makanan ini dinamakan Bêkasêm atau Masin.

Masyarakat membuatnya bothok dan dicampur dengan krambil muda yang sudah diparut, dijadikan lauk dimakan bersama nasi jagung dan sayur elung atau sayur asemkangkung. Setelah makan, mereka bersendawa sambil berseru, ” Hwaeeek… Aduh Sémboook sêgêré!!!” Kemudian mereka memakan manisan Kêmala sambil bersantai tanpa pakaian atas karena keringatnya gêmrobyos, diterpa angin semilir dari Gunung Bugêl, membawa aroma bungabunga yang harum menenangkan pikiran.

Orang-orang Tani-ngothèk Sumbêrsili diajak Ki Wêlug untuk membuat batu bata berukuran besar dibuat tembok untuk menanggul sumber mata air yang luber membanjiri desa. Air tersebut dialirkan menuju Sungai Sêmangu dan Kêmandhung lalu merembet ke Sungai Têgalamba dan menuju rawa Narukan. Selain itu, Ki Wêlug juga mengajarkan masyarakat menjadi Kundhi, membuat gerabah. Daerah tempat tinggal para Kundhi itu diberi nama Kundhèn. Selain itu, masyarakat juga diajarkan menjadi Pandhé, tempat tinggalnya diberi nama Pandhéyan. Wanita-wanita kampung Kundhèn diajari membuat Ampo (makanan dari tanah liat), yang bahan tanah liatnya didapat di sekitar Palwadhak (lereng utara Gunung Bugêl) yang terdapat lempung kete-kuning yang apabila dibuat Ampo rasanya agak gurih. Sementara itu, Tani-pokol Têgalamba diajarkan cara menanamPadi yang tanpa membutuhkan banyak air. Bibitnya didapat dari sumbangan orang-orang Siam, padi itu dinamakan Pari Gågå-rancah. Beras yang dihasilkan disebut Krōtōg.

Membangun Kutha Lasem-Argasoka

Orang-orang Tani-pokol dan Tani-ngothèk yang dipimpin Mpu Widyabadra tersebut merasa guyub dan senang sekali. Masyarakat lalu mengangkat Ki Wêlug Widyabadra menjadi Rangga, Pemimpin Karya. Dia lalu pindah dan membuat tempat tinggal baru yang dinamai Kêranggan. Tak menunggu waktu lama, desa tersebut menjadi semakin ramai seperti kota besar. Kemudian daerah itu dinamakan LASÊM. Ketika daerah itu ditetapkan menjadi KOTA LASEM di musim Bêdhidhing, diadakan upacara agung. MpuRangga Widyabadra membuat Candrasêngkala untuk mengingat momen tersebut, yaitu “Akarya kombuling manggala“. Akarya: 4, kombuling: 0, manggala: 8. (Membaca tahunCandrasengkala adalah dengan dibalik angkanya, jadinya adalah 804) Artinya KOTA LASÊM didirikan oleh Ki Wêlug Rangga Widyabadra pada tahun 804 Çaka (882 M). Mpu Widyabadra meninggal dunia pada tahun 920 M, dan abu jenazahnya disemayamkan bersama para leluhurnya di Pundhèn Tapaan, Gunung Argasoka (Tapaan).

Pemberontakan Ra Semi

Kidung Sorandaka menyebutkan pada tahun 1316 M ayah Patih Nambi yang bernama Pranaraja meninggal dunia di Lumajang. Tokoh Ra Semi ikut dalam rombongan pelayat dari Majapahit. Kemudian terjadi peristiwa tragis di mana Nambi difitnah melakukan pemberontakan oleh seorang tokoh licik bernama Mahapati. Raja Majapahit saat itu adalahJayanagara putra Raden Wijaya. Karena terlanjur percaya kepada hasutan Mahapati, ia pun mengirim pasukan untuk menghukum Nambi.

Saat pasukan Majapahit datang menyerang, Ra Semi masih berada di Lamajang bersama anggota rombongan lainnya. Mau tidak mau ia pun bergabung membela Nambi. Akhirnya, Nambi dikisahkan terbunuh beserta seluruh pendukungnyaKidung Sorandaka menyebutkan pada tahun 1316 ayah Patih Nambi yang bernama Pranaraja meninggal dunia di Lumajang. Tokoh Ra Semi ikut dalam rombongan pelayat dari Majapahit. Kemudian terjadi peristiwa tragis di mana Nambi difitnah melakukan pemberontakan oleh seorang tokoh licik bernama Mahapati. Raja Majapahit saat itu adalah Jayanagara putra Raden Wijaya. Karena terlanjur percaya kepada hasutan Mahapati, ia pun mengirim pasukan untuk menghukum Nambi.

Saat pasukan Majapahit datang menyerang, Ra Semi masih berada di Lamajang bersama anggota rombongan lainnya. Mau tidak mau ia pun bergabung membela Nambi. Akhirnya, Nambi dikisahkan terbunuh beserta seluruh pendukungnya, termasuk Ra Semi.

Pararaton menyebutkan pada tahun 1318 M Ra Semi melakukan pemberontakan terhadap Majapahit. Berita ini cukup berbeda dengan naskah Kidung Sorandaka yang menyebutkan Ra Semi tewas membela Nambi tahun 1316 M.

Pararaton mengisahkan secara singkat pemberontakan Ra Semi terhadap pemerintahan Jayanagara. Pemberontakannya itu ia lakukan di daerah Lasem. Akhirnya pemberontakan kecil ini dapat ditumpas oleh pihak Majapahit di mana Ra Semi akhirnya tewas dibunuh di bawah pohon kapuk. Pernyataan menurut kitab Pararaton tersebut mirip dengan apa yang ada di sekitar Ngeblek (Ngargomulyo) dimana terdapat makam tokoh besar (tokoh agung) di bawah pohon randu/kapuk. Namun keadaan sekarang, karena proses islamisasi maka masyarakat sekitar menamai makam itu dengan nama Islam. Sungguh hal yang disayangkan.

Tokoh

  1. Mpu Rangga Widyabadra
  2. Ra Semi
  3. Mpu Metthabadra

Peninggalan

Belum ditemukan secara pasti terkait bukti fisik Kekuwuan Lasem, namun yang bisa kita lihat sampai saat ini adalah

  1. Pertapaan Argasoka di Gunung Tapaan, sebelah barat Vihara Ratanavana Arama Sendangcoyo. Di sana terdapat Punden Tapaan yang berdiri tugu nisan bertuliskan nama-nama tokoh yang diperabukan dan ditempatkan di sana mulai dari Reliqnya Dhatu Kie Seng Dhang (Sindang, Dhatu Tanjungputri), Abu jenazah Dhatu Hang Sam Badra (Bhadrawarman, raja pertama Pucangsula), Abu jenazah Dattsu Sie Ba Ha (Dewi Sibah, putri Hang Sam Badra), Abu jenazah Mpu Rangga Widyabadra (Ki Welug, pendiri Kutha/Kekuwuan Lasem), dan yang terakhir adalah Tumenggung Wilwatikta Mpu Pangeran Santibadra (Tumenggung Wilwatikta; Penulis Kitab Sabda Badra Santi; Pendeta Buddha-Kanung, ayah biologis Kalijaga).
  2. Perkampungan Karas: Desa Karasgede, Dukuh Tegalamba (utara desa Karasgede), mungkin juga Desa Karaskepoh, Dukuh Karasjajar (Doropayung) daerah satu kawasan ini semua memakai awalan ‘Karas’ seperti yang disebutkan dalam cerita tentang rombongan Ki Wekel yang membuka permukiman di daerah Karasmula.
  3. Perkampungan Karanggan, kini masuk desa Sumbergirang tepatnya di kampung sebelah utara Sungai Kemendung.
  4. Perkampungan Pereng dan Gambiran, konon Gambiran berasal dari kata Gam Swi Lang, guru Mpu Rangga Widyabadra. Kini merupakan kawasan pecinan di Soditan.

Kepustakaan

Mbah Guru. 1996. Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung.

Dipublikasi di Uncategorized | Tag , , , , , , | Meninggalkan komentar

Desa Dorokandang, Lasem

Mencoba menulis ulang artikel yang saya unggah di wikipedia, dulur. Selamat membaca.

Dorokandang adalah desa di kecamatan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, Indonesia.

Asal-usul Nama

Pada saat Raden Panji Margono mengasingkan dari Kadipaten Lasem dan menjalani hidup seperti rakyat kecil, dia membuka lahan untuk perkampungan di sekitar sungai kecil, sebelah barat Sungai Babagan (Sungai Lasem). Di tanah bekas rawarawa yang penuh semak belukar itu, terdapat sekali pohon Tal (aren/siwalan) serta pohon Doro (widoro/bidara). Seiring berjalannya waktu, banyak orang yang membuat rumah dan tinggal di perkampungan tersebut bersama Raden Panji Margono yang sebenarnya adalah anak seorang AdipatiLasem, Raden Arya Tejakusuma V (Raden Panji Sasongko), yang tak mau menduduki jabatan sebagai Adipati Lasem jika ayahnya sudah turun jabatan. Pada suatu ketika, Raden Panji Margono dan warga membersihkan semak belukar yang tumbuh di sekitar perkampungan.Ki Mursodo, seorang yang menjadi abdi setia sang putra adipati tersebut bertugas merapikan ranting pohon Doro yang besar itu bersama beberapa warga kampung. Setelah pohon Doro yang besar itu terlihat bersih dan asri, di sekitar pohon Doro itu dibangun sebuah pagardari bambu yang mengelilingi pohon tersebut sehingga nampak seperti kandang. Setelah Panji Margono bersama para warga lain selesai membersihkan tempat itu mereka semua merasa sangat lelah karena seharian membersihkan semak-semak belukar. Setelah mereka semua lelah bekerja bakti, mereka pun beristirahat di bawah pohon Doro tersebut. Di sana juga terlihat Raden Panji Margono yang juga terlihat sangat kelelahan, duduk bersantai bersama warga. Di sela-sela istirahat para warga, Raden Panji Margono berkata “Sedulur-sedulurku sedoyo, warga-wargaku, elingo. Yen mbesok ono reja-rejane njaman, kanggo pengeling-eling, panggonan iki bakal takjenakno DOROKANDANG!” (Para saudara-saudaraku, warga-wargaku, ingat-ingatlah. Jika suatu saat jaman sudah berganti menjadi lebih baik, sebagai pengingat kalian semua, tempat ini dan sekitarnya saya namakan DOROKANDANG”. Sejak saat itu dan sampai sekarang tempat itu bernama desa Dorokandang (terdiri dari kata DORO dan KANDANG).

Pada kitab Sejarah (Carita) Lasem, disebutkan sebuah tempat yang didiami Raden Panji Margono yang penuh dengan tanaman Tal (siwalan) hingga Raden Panji Margono pun dijuluki sebagai Panji Lasem Talbaya. Warga di sekitar sana banyak yang bekerja sebagai penyadap pohon Tal untuk diambil air niranya, buahnya dijual atau dikonsumsi warga, serta daunnya dipakai untuk bahan menulis (ron-tal/daun Tal, atau lebih sering disebut Lontar), dan juga sekaligus untuk mengintai pasukan kompeni Belanda dari atas pohon Tal yang tumbuh tinggi, sebagai mata-mata untuk mengetahui bahaya yang ada. Maka, banyak yang menjuluki daerah tersebut dengan nama TALBAYA (terdiri dari kata TAL dan be-BAYA/bahaya).

Jadi jika dapat disimpulkan, nama desa ini ada 2 yaitu DOROKANDANG dan TALBAYA. Namun, orang-orang lebih sering menyebutnya DESA DOROKANDANG.

Geografi

Desa Dorokandang termasuk desa kota di Kecamatan Lasem, berjarak lebih kurang 2,5 km ke arah barat dari ibukota kecamatan Lasem dengan batas-batas wilayah sebagai berikut.

Utara Jalan Raya Lasem dan desa Gedongmulyo
Selatan Desa Kasreman (Kecamatan Rembang)
Barat Desa Gedongmulyo dan desa Punjulharjo (Kecamatan Rembang)
Timur Desa Babagan

Desa Dorokandang mempunyai luas wilayah seluas 203,5 ha dan terletak di dataran rendah. Rata-rata ketinggian daerah adalah 4 meter di atas permukaan laut. Desa yang terletak di bagian terbarat kota Lasem ini terbagi dalam beberapa dusun/dukuh, yaitu:

Pertanian

Embung Sawah Segoro, di Persawahan Sawah Segoro Narukan, Dorokandang.

Sebagai desa yang sebagian besar luas areanya adalah lahan pertanian/tegalan/pertambakan, ini berpengaruh langsung pada pola pikir masyarakat maupun keadaan sosial-antropologi masyarakatnya. Lahan pertanian di Dorokandang memang terkenal subur dan hasil pertaniaannya rata-rata diperdagangkan di Pasar Lasem yang terletak di utara desa ini, berbatasan dengan desa Gedongmulyo.

Jalan Narukan menuju area Sawah Segoro di Narukan, Dorokandang. Tampak semak dan hutan jati di sekeliling jalan.

Kawasan pertambakan di Dorokandang biasanya digunakan untuk budidaya bandeng, udang, dan sebagai lahan tambak garam. Kawasan pertambakan dan pertanian di Dorokandang terekam dalam karya sastra Carita Lasem (kitab pembuka Sabda Badra Santi 1400 Syaka) dan merupakan salah satu kawasan pertanian yang bersejarah. Di desa ini terdapat beberapa embung/waduk kecil yang digunakan sebagai penampung air hujan untuk sarana irigasi di sawah dan ladang, sebab pertanian di desa Dorokandang adalah lahantadah hujan yang mengandalkan air hujan sebagai sumber irigasi lahan pertanian. Dengan adanya embung-embung ini, irigasi ke lahan-lahan pertanian dapat berjalan dengan lancar. Salah satu embung yang terbesar adalah embung di kawasan persawahan Sawah Segoro,Narukan. Embung ini relatif baru. Namun karena kebutuhan, pemerintah desa Dorokandang membuat embung lagi di kawasan persawahan SambongDondong dan pembuatan dilaksanakan pada tahun 2014 dan selesai pada tahun itu juga.

Selain itu, di desa Dorokandang juga terdapat beberapa hutan jati yang tidak begitu luas milik warga pribadi. Kurangnya area untuk kawasan hutan desa dan alih fungsi kawasan semak/hutan di kawasan Sambong-Dondong sebagai lahan pertanian menyebabkan masalah tersendiri terkait program penghijauan lingkungan yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan.

Tokoh

Rupang dari Raden Panji Margono.

  1. Di desa ini terdapat makam salah satu Pahlawan Lasem yaitu Raden Panji Margono (RPM Tedjokusumoputro) putra Adipati Lasem Tejokusumo V periode 1714-1727. Dia salah satu Tiga Bersaudara bersama Mayor Oey Ing Kiat (Adipati Tumenggung Widyaningrat, Adipati Lasem 1727-1750) dan Tan Kee Wie. Mereka adalah 3 (tiga) pemimpin pemberontakan Tionghoa – Mataram terhadap VOC di Lasem. Bersama Tan Kee Wie, seorang pendekar kungfu dan pengusaha Lasem, mereka bersumpah untuk mengikatkan diri sebagai tiga saudara angkat. Makam Raden Panji Margono terletak di dukuh Sambong, desa Dorokandang. Untuk mengenang kepahlawanan Tiga Bersaudara itu, masyarakat Lasem terutama warga Tionghoa, membuat monumen berupa klenteng Gie Yong Bio di desa Babagan. Mereka dianggap Dewa Penyelamat/Kongco bagi warga Tionghoa dan dibuat Rupangnya dipuja oleh masyarakat Tionghoa. Rupang Kongco Raden Panji Margono (RPM Tedjokusumoputro) berada di altar khusus. Rupang Oey Ing Kiat dan Tan Kee Wie, menyatu berdampingan di altar utama. R.Panji Margono juga dikenal dengan nama samarannya yaitu Tan Pan Ciang saat Perang Kuning. (Abad ke-18)
  2. Panglima Tionghoa Singseh (Tan Sin Ko) yang merupakan salah satu pahlawan nasional (sedang diajukan) yang bersama kaum pribumi berjuang melawan VOC. Dia adalah sahabat dekat dari Raden Said (Alap-alap Sambernyawa/Mangkunegara). Makamnya terletak di Bong Singseh, tepatnya di areal persawahan Dukuh Narukan. (Abad ke-18)
  3. Ki Mursada, dia adalah abdi setia dari RP.Margono, bersama dengan Ki Galiyo. Dia dimakamkan di dekat makam RP.Margono, sementara Ki Galiyo (Mbah Sedandang) dimakamkan di utara Jalan Raya RembangLasem dengan nama Makam Sedandang. (Abad ke-18)
  4. Raden Panji Witono, adalah putra bungsu dari Raden Panji Margono. Dia sejak kecil dikucilkan oleh masyarakat karena dianggap anak brandal (istilah dari VOC bagi pemberontak yang menentang VOC). Dia membunuh mandor kerja rodi di jalan Rembang-Lasem dan melarikan diri keKaliwungu, Kendal sampai wafat dan dimakamkan di sana. (Abad ke-18)
  5. Raden Panji Kamzah, adalah keturunan Raden Panji Margono. Dia yang menulis naskah Carita Lasem sebagai kisah pembuka pada Kitab Sabda Badra Santi karangan Mpu Santibadra Tumenggung Wilwatikta, yang masih terhitung sebagai sesepuhnya. Dia dimakamkan di pemakaman dukuh Sambong. (Abad ke-19)
  6. Djaswadi, dia adalah seorang kamituwo (Kadus I) yang dahulu rumahnya berada di belakang kantor Dinas P & K Lasem, dukuh Persilan. Almarhum Jaswadi merupakan sosok yang menjunjung tinggi adat Jawa. (Abad ke-21)
  7. Sukarman, dia adalah seorang mantan kepala desa Dorokandang. Pada masa pemerintahannya, kantor kepala desa Dorokandang dipindahkan dari dukuh Persilan (di rumahnya) menuju ke dukuh Sambong sampai sekarang ini. Masa tua dia sangatlah tidak seperti pemimpin besar, dia wafat dalam keadaan ekonomi yang serba pas-pasan (wong cilik). (Abad ke-21)
  8. Hadi Pawiro, atau Mbah Abas, dia adalah seorang veteran pada zaman penjajahan Jepang. Almarhum Hadi tinggal di dukuh Persilan dan menghabiskan masa tua sampai wafatnya sebagai seorang peladang dan pembuat sapu kelud. (Abad ke-21)
  9. Mbah Karban, dia adalah seorang tokoh Islam Jawa yang menjunjung tinggi ilmu luhur Jawa. Almarhum dahulu tinggal di dukuh Sambong dan masih saudara tunggal ibu lain ayah dengan Mbah Hadi Abas Pawiro. (Abad ke-21)
  10. Sentot Ali Muksin, adalah seorang seniman karawitan, ketoprak dan seni beladiri. Dia berasal dari Jepara dan menikah dengan warga Dorokandang. Tempat tinggalnya di dukuh Persilan. Masa tua dia banyak diisi dengan kegiatan memancing, serta merawat burung kicauan. (Abad ke-21)
  11. Mbah Kardi, adalah seorang seniman Jaran Kepang (Kuda Lumping) dan Barongan sekaligus kepala paguyupan seni kuda lumping Songgo Buwono di dukuh Narukan. Walaupun dia berasal dari Desa Jeruk Pancur, namun dia berjasa melestarikan seni Kuda Lumping dan mengharumkan nama Desa Dorokandang.
  12. Ghofar Ismail, adalah seorang politikus (DPRD Rembang) dari Partai Keadilan Sejahtera yang telah membangun yayasan pendidikan Mutiara Hati, yang membangun Playgroup dan SDI Mutiara Hati.
  13. Mbah Wagiran, seorang tabib dan ahli ilmu kejawen yang banyak membantu masyarakat sekitar. Dia tinggal di dukuh Narukan
  14. Ki Rustamaji, seorang dalang wayang kulit yang mempunyai sanggar di rumahnya sendiri, tepatnya di dukuh Karanganyar, Dorokandang.
  15. Hilmi, seorang tokoh muda yang membangun Padepokan Seni Beladiri Pencak Silat Jibril (Jiwa Bersih Ridlo Illahi) sebagai satu-satunya pencak silat yang asli berasal dariLasem.

Demografi[sunting | sunting sumber]

Mayoritas penduduk desa Dorokandang adalah suku Jawa, ada pula suku Sunda (perantauan; minoritas terbesar, terpusat di Dukuh Narukan). Sebagian besar penduduknya menganut agama Islam, selain itu ada pula yang menganut agama Kristen, Katholik, dan penganut kepercayaan (Kejawen). Di desa Dorokandang berdiri 1 masjid (Masjid Al-Barokah) dan 1 gereja kristen (Gereja Kristen Jawa/ GKJ Lasem). Penduduknya sebagian besar bermatapercaharian sebagai petani dan buruh tani, buruh jasa, pedagang, dan pegawai negeri.

SDN Dorokandang 1 Lasem

Di bidang pendidikan, di desa Dorokandang juga dibangun beberapa tempat pendidikan, antar lain:

  • SDN Dorokandang 1
  • SDN Dorokandang 2
  • SLB Dorokandang Lasem
  • TK Harapan
  • TK Islam Bakti
  • TPQ & Madin Roudhotot Tholibin
  • Playgroup Mutiara Hati

Punden Leluhur

Beberapa punden dan bregat yang diluhurkan adalah:

  • Punden Mbah Buyut (Panji Margono), terletak di dukuh Sambong, di bawah pohon trenggulun.
  • Punden Mbah Teratai, terletak di dukuh Trobayan, di jalan tembus dukuh Dondong dan Trobayan.
  • Punden Mbah Kemuning, terletak di dukuh Persilan, di utara Lapangan Dorokandang, areal pohon beringin besar.
  • Punden Sumurombe, terletak di dukuh Narukan, areal persawahan dekat perbatasan desa Babagan di bawah pohon asam jawa.

Peninggalan Bersejarah

Bekas Stasiun Lasem, gambar tampak dalam

Home Industri

  1. Batik Lasem PAK USMAN, sebuah industri batik Lasem milik bapak Usman yang terdapat di dukuh Karanganyar. Industri ini sering mengikuti pameran di berbagai tempat.
  2. Batik Lasem BAROKAH, sebuah industri batik Lasem kecil-kecilan milik bapak Afif dan ibu Mawar yang terdapat di dukuh Persilan.
  3. Pabrik Krupuk, milik bapak Suhama’ terdapat di dukuh Narukan.
  4. Industri Jahe Wangi Bubuk, milik ibu Lasni terdapat di dukuh Sambong.
  5. Pabrik Terbelo (peti Tiongkok, untuk tempat jenazah warga Tionghoa), terdapat di dukuh Sambong.
  6. Industri Ceriping (Keripik Singkong), milik bapak Sangim, terdapat di dukuh Sambong.
  7. Industri Makanan Wingko, makanan tradisional dari olahan ketan dan kelapa, industri ini milik bapak Lasimo dukuh Karanganyar.
  8. Industri olahan laut (Cumi-cumi/Udang goreng tepung), terdapat di dukuh Karanganyar.

Referensi

  • Kitab Carita (Sejarah) Lasem, sebuah Kitab Pembuka pada Kitab Badrasanti karangan mPu Tumenggung Wilwatikta Dhang Puhawang Santibadra.
  • Unjiya, M.Akrom, Lasem Negeri Dampoawang Sejarah yang Terlupakan, Yogyakarta: Eja Publisher, 2008.
  • R.M. Panji Kamzah, Carita Lasem, tanpa kota: tanpa penerbit, 1858.
  • LASKAR CHINA DAN PRIBUMI MELAWAN VOC 1740 -1743 [1]
  • Satu Satunya Di Dunia Kongco Pribumi Klenteng Gie Yong Bio Lasem [2]
  • Data dari Balai Desa Dorokandang
  • Kisah turun-temurun dari sesepuh desa
Dipublikasi di Uncategorized | Tag , , , , , | Meninggalkan komentar